My Lovely humz

Friday, June 24, 2011

-- pekatnya ukhuwah --

Ini kisah tentang si ALif

Jangan salah kira, Alif. Di sini juga ada hal seprti itu. Padahal jumlah penduduk kami Cuma 30 juta orang. Sekitar seperempatnya berbahasa Prancis. Warga yang berbahasa Prancis sekarang sedang menimbang-nimbang untuk memisahkan diri sebagai sebuah Negara yang berdaulat. (kata Franc serius). Gantian sekarang aku yang terkejut. Ada yang mau berpisah dengan Negara damai ini.

Tapi kenapa, kan semua orang di sini sejahtera?
Karena kami berbeda budaya dan bahasa

Sejak kapan?
Sejak dulu. Dan sekarang, tahun ini aka nada referendum. Untuk memutuskan apakah kami , Quebec, benar-benar akan berpisah dengan kanada…..

Aku baru sadar bahkan Negara maju pun ada gerakan separatis. Aku tidak sabar untuk bertanya. “Tidak ada kekerasan senjata? Kan disini warga boleh punya senjata api?”

“Sejauh ini tidak ada. Senjata yang boleh dimiliki penduduk hanya untuk alat berburu. Bukan untuk kekerasan.”

Tidak ada keributan masalah ini?

Mungkin ini yang berbeda dengan Negara lain. Tentu saja ada keributan, khususnya dalam pidato politik, tapi tidak ada kekerasan bersenjata. Kami semua tidak ingin kalau masalah ini sampai menimbulkan brutalisme.

Masa tidak ada yang tersulut, ini kan masalah harga diri dan identitas? Tanyaku sangsi.

Kami melihat perbedaan untuk dihargai. Boleh diperjuangkan tapi tidak dengan kekerasan.…

** di pengunjung Oktober 1995 itu, pemilih tua dan muda datang ke tempat pencoblosan karena memang panggilan nurani, bukan karena menggadaikan suara berkat bujuk rayu uang kertas. Franc dan Ferdinand berangkat satu mobil ke tempat pencoblosan walau dengan pilihan yang berbeda.

Selama beberapa hari setelah itu, Franc dan Ferdinand seperti terrpaku di depan TV yang tiada henti memberitakan hasil referendum. Tapi akhirnya memang harus ada yang kalah walau setipis rambut. Sebanyak 49,42%  warga Quebec  memilih berpisah dari Kanada. Hanya kalah 0,58% dari warga yang memang ingin terus bersama Kanada.  Franc menepuk-nepuk jidatnya berkali-kali karena tidak percaya kubunya kalah. Walau masih bermuka masam, dia sorongkan jabar erat kepada Ferdinand untuk kemenangan setipis rambut itu.

Alif, kamu bisa lihat kan, apa pun hasilnya, tidak ada keributan fisik. Kami menghargai hasil. Yang penting sudah kita usahakan…

NOTE:

Itu petikan cerita yang ada di Ranah 3 Warna by A. Fuadi

Entah mengapa, tiba-tiba saja aku teringat akan percakapan ini setelah mendapat berita dari seorang kawan nun jauh disana…


Mungkin kita tidak percaya jika Negara seperti Kanada  bisa aman dan damai menghadapi referendum yang akan berdampak bagi negera tersebut.

Pelajaran yang paling nyata adalah bahwa mereka tetap bisa berbaik perilaku

Tidak saling melukai

Tidak saling menyakiti,

Tidak saling mencemooh,

Dan tentunya tidak saling merendahkan satu sama lain,

Apalagi sampai membodoh-bodohi kubu yang tidak satu visi dengan mereka

Yah, kita belajar bagaimana bersikap bijaksana

Belajar bagaiman menerima keputusan dengan lapang ada,
Belajar bagaimana menjadi pihak yang kalah tetapi tetap berbesar hati untuk terus melangkah bersama pihak yang memenangkan pertarungan..


Alangkah indahnya dunia ini jika semua pihak berlaku lembut dan legowo…
Bersikap baik ketika menerima kegagalan bukan berarti menjadikan kita pecundang dan pengecut
Tetapi menjadikan kita pribadi yang besar..

**Ada banyak kerja bersama yang menanti…

Buanglah semua rasa curiga dan dendam kesumat
Buang jauh-jauh..

Jauhhhhhh sekali…

Agar ia tidak datang kembali menghampiri hati-hati kita…

Agar ia tak lagi membuat batas hitam dalam kebeningan ukhuwah kita….

 Karena Ukhuwah tak hanya sekedar kata tanpa makna

1 comment: